Produksi Anggur Merah Kaliurang Disetop Usai Tuai Polemik
Masyarakat Kaliurang, Sleman, digegerkan oleh kehadiran sebuah produk minuman beralkohol berlabel “Anggur Merah Kaliurang” yang sempat beredar di sejumlah warung dan toko oleh-oleh setempat. Produk ini menimbulkan kontroversi karena memanfaatkan nama daerah wisata religi yang selama ini dikenal santun dan ramah keluarga. Sejumlah tokoh agama dan pemerhati sosial menyatakan keprihatinan mereka, dan meminta agar merek tersebut segera dihentikan.
Produsen minuman beralkohol yang menaungi merek ini mengaku awalnya hanya ingin memadukan estetika lokal dengan rasa anggur merah, namun tak menyangka akan menuai reaksi keras dari warga. Menurut pernyataan marketing, penarikan kembali produk dilakukan demi menghormati citra Kaliurang dan menjaga keharmonisan masyarakat. Semua stok yang belum terjual telah dikumpulkan dan proses pendaftaran merek “Kaliurang” pun dicabut.
Sempat santer terdengar rencana Bupati Sleman mengajukan somasi kepada produsen, guna menghentikan penggunaan nama “Kaliurang” pada produk beralkohol. Langkah ini diambil untuk melindungi nama baik daerah dan menghindari persepsi negatif terhadap pariwisata setempat. Pemerintah daerah juga menegaskan akan melakukan patroli bersama Satpol PP agar tidak ada lagi peredaran di lapangan.
Dari sisi ekonomi, beberapa pedagang merasa dirugikan karena sudah memesan stok dalam jumlah besar sebelum polemik meledak. Mereka akhirnya harus mengembalikan barang atau menerima penggantian dari produsen. Di sisi lain, sebagian kecil warga menyebut bahwa konsumen dewasa berhak memilih minuman apa saja, asalkan tidak dijual bebas kepada anak di bawah umur.
Para ahli hukum merekomendasikan agar produsen menerapkan uji publik dan konsultasi dengan dinas pariwisata serta budaya setempat sebelum menggunakan nama daerah pada produk komersial. Hal ini penting untuk menghindari sengketa merek dan menumbuhkan kerjasama yang harmonis antara dunia usaha dan pemerintah daerah.
Meski kontroversi ini telah mereda, pelajaran penting yang ditinggalkan adalah pentingnya sensitivitas kultural dan etika pemasaran. Kepatuhan terhadap aturan perlindungan nama dan citra daerah sekarang menjadi sorotan utama, dan diharapkan memicu lahirnya regulasi yang lebih tegas.
Ke depan, produsen berjanji akan melakukan inovasi produk dengan melibatkan unsur lokal lain—tanpa menggunakan nama “Kaliurang”—sebagai bentuk permohonan maaf dan komitmen menjaga harmoni. Warga pun berharap, Kaliurang tetap menjadi destinasi yang aman dan nyaman, bebas dari asosiasi negatif apapun.